Friday, March 23, 2012

Book Tax Differences: Kajian Teoritis..... (Lanjutan)

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis kemampuan book-tax differences dalam menjelaskan berbagai variabel lain manajemen laba, nilai saham, laba masa mendatang (future earnings) dan arus kas masa mendatang (Tang 2011, Comprix et al. 2011, Weber 2009, Hanlon 2005, Wijayanti 2006). Dari hasil penelitian mereka dapat dijadikan sebagai kajian teoritis untuk memperkaya literatur mengenai kualitas laba.

Berdasarkan uraian di atas, maka paper ini bertujuan untuk mengkaji secara teoritis bagaimana BTD dapat menjelaskan kualitas laba dan berbagai kegunaan BTD bagi investor. Untuk mencapai tujuan penulisan, maka paper ini akan disajikan dengan mengikuti alur atau kerangka berpikir sesuai gambar berikut ini:

2. Agency Theory

Agency theory telah menjadi dasar teori bagi banyak penelitian mengenai akuntansi. Agency theory yang juga disebut contracting theory, timbul karena adanya praktik yang dijalankan pada perusahaan modern, yaitu pemisahan kepentingan antara manajemen dan pemilik yang berada diluar perusahaan serta tidak terlibat dalam pengambilan keputusan manajemen (Wolk, et al., 2004). Pada konsep agency theory terdapat pemisahan fungsi antara principal (pemilik perusahaan) dan agent (pengelola/manajemen perusahaan). Jensen dan Meckling (1976) dalam Watts dan Zimmerman (1986) membuat suatu model kontrak antara pemegang saham suatu perusahaan dan pemilik-manajer, model tersebut dinamakan agency relationship. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency relationship sebagai kontrak dimana satu pihak atau lebih, yaitu principal, mengikat orang/pihak lain, yaitu agent, untuk melaksanakan kegiatan/usaha/jasa mewakili principal dan mendelegasikan kewenangan dalam membuat keputusan kepada agent. Bertindak sebagai principal dalam kontrak antara manajer-pemegang saham adalah pemegang saham, sedangkan pemilik-manajer bertindak sebagai agent.

Penilaian dan review atas agency theory pernah dilakukan oleh Eisenhardt (1989), dimana pada saat itu agency theory sedang berkembang dan telah banyak dilakukan penelitian terkait agency theory. Eisenhardt (1989) mencoba untuk menganalisis kontribusi agency theory pada teori organisasi dan mengembangkan penelitian empiris dan proposisi yang akan diuji dengan dua main stream yaitu positivist dan principal-agent. Hasilnya, untuk stream positivist, Eisenhardt (1989) melihat bahwa agency theory menawarkan suatu pemahaman mengenai sistem informasi dimana sistem informasi yang memadai ini dapat meminimalkan agency problems (perbedaan kepentingan/preferensi risiko antara principal dan agent) yang dihadapi oleh principal dan agent. Principal tidak memiliki informasi yang cukup untuk memverifikasi apa yang telah dilakukan agent atau untuk memverifikasi bahwa tindakan agent telah dilakukan sebagaimana mestinya. Untuk meminimalkan agency problems, dapat juga digunakan kontrak antara principal dan agent yang berbasis output. Dengan adanya informasi yang memadai dan kontrak berbasis output maka agent akan bertindak/berperilaku sesuai kepentingan principal. Hasil untuk principal-agent stream, bahwa hubungan antara principal-agent harus mengkaitkan kontrak dengan sistem informasi, ketidakpastian outcome, outcome yang dapat diukur, dan tugas-tugas yang dapat diprogram (Eisenhardt, 1989).

Pada papernya, Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa jika hubungan antara principal dan agents adalah memaksimalkan utility, maka dapat diyakini bahwa tindakan agent tidak selalu selaras dengan kepentingan principal. Namun, principal dapat membatasi perbedaan kepentingannya dengan memberikan insentif yang memadai bagi agent dan memonitor biaya yang didisain sedemikian rupa untuk membatasi tindakan agent yang dinilai menyimpang dari tujuan principal. Bahkan, pada beberapa kondisi, principal akan membayar agent untuk mengeluarkan sumber daya (bonding costs) untuk menjamin bahwa agent tidak akan mengambil tindakan tertentu uang membahayakan principal, dan untuk memastikan bahwa apabila agent tetap melakukan tindakan yang berbahaya tersebut maka principal akan menerima kompensasi. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memastikan bahwa agent akan mengambil keputusan optimal sejalan dengan sudut pandang principal maka akan timbul biaya. Biaya-biaya yang timbul karena adanya hubungan principal dan agent ini disebut dengan agency costs.

Terkait dengan agency costs, salah satu dugaan dalam agency theory seperti yang dikemukakan oleh Wolk et al. (2004) bahwa manajemen berusahan untuk memaksimalkan kesejahteraannya dengan meminimalkan berbagai agency costs yang timbul dari kegiatan monitoring dan contracting. Audit, merupakan salah satu cara untuk meminimalkan agency costs dan dapat dilihat sebagai salah satu cara efisien dalam hal contracting.

2. Information Asymmetry

Pada pembahasan mengenai agency theory telah dipaparkan bagaimana pemisahan antara principal dan agent berpotensi menyebabkan agency problem. Untuk mengatasinya telah dilakukan penelitian bahwa sistem informasi yang baik diperlukan agar principal dapat memverifikasi bahwa tindakan manajer telah dilakukan sebagaimana mestinya mewakili kepentingan principal. Laporan keuangan dijadikan salah satu alat bagi principal untuk memonitor kinerja manajer, dan juga sebagai dasar bagi principal untuk mengetahui apakah tujuan/target yang telah ditetapkan telah tercapai atau belum. Laporan keuangan disusun dan disiapkan oleh manajer dengan mempertimbangan pemilihan metode akuntansi tertentu. Manajer yang menginginkan kinerjanya dinilai baik, maka akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat memaksimalkan laba. Apabila terjadi hal seperti ini, maka laporan keuangan tersebut dapat menyebabkan keputusan yang diambil principal salah. Manajer sebagai agent mengetahui informasi mengenai perusahaan lebih baik daripada pemegang saham sebagai principal. Ketimpangan informasi yang dimiliki oleh agent dan principal inilah yang dinamakan information asymmetry. Manajer menguasai lebih banyak informasi yang terkandung dalam Laporan Keuangan daripada principal. Hal ini sesuai dengan pendapat Wolk et al. (2004), bahwa information asymmetry terjadi apabila satu pihak (pada umumnya agent) memiliki informasi dibanding dengan pihak lain.

Berbagai cara dapat digunakan oleh principal untuk mengurangi dampak dari information asymmetry. Sebelum laporan keuangan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, maka perlu dilakukan audit oleh Auditor independen untuk menilai kewajaran laporan keuangan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dipaparkan Wolk, dkk (2004) bahwa audit dapat dipandang sebagai instrumen untuk meyakinkan bahwa laporan keuangan sudah sesuai untuk kepentingan eksternal perusahaan. Audit merupakan suatu upaya untuk meyakinkan pihak eksternal perusahaan (seperti pemilik dan kreditur) mengenai tata kelola perusahaan yang dilakukan oleh manajemen. Salah satu upaya yang dapat dilakukan principal adalah principal dapat meyakini informasi laba fiskal disamping laba akuntansi sebagai dasar penilaian apakah manajer melakukan manajemen laba, karena standar akuntansi memperbolehkan pengakuan pendapatan sebelum pendapatan tersebut diterima, atau pengakuan beban sebelum beban tersebut benar-benar terjadi.

3. Laporan Keuangan

Laporan keuangan merupakan hasil dari suatu siklus akuntansi. Menurut kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan, laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Tujuan laporan keuangan adalah “menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi”(IAI, 2007). Tujuan laporan keuangan ini sejalan dengan yang diuraikan oleh Mautz dan Angell (2006) bahwa laporan keuangan dibuat untuk membantu investor dan kreditur dalam memahami peristiwa-peristiwa/historis terkait keuangan perusahaan dan menggunakannya untuk memprediksi jumlah, waktu dan ketidakpastian arus kas mendatang serta untuk apresiasi harga. Definsi serta tujuan laporan keuangan diatas memberikan suatu pemahaman bahwa para stakeholders perusahaan sangat meyakini informasi yang dihasilkan oleh laporan keuangan sebagai dasar pengambilan banyak keputusan ekonomis. Untuk itu, laporan keuangan harus memenuhi karakteristik kualitatif agar informasinya dapat lebih berguna bagi pengguna laporan keuangan.

Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No. 2 mengenai karakteristik kualitatif laporan keuangan bertujuan untuk menganalisis karakteristik yang membuat informasi akuntansi dapat bermanfaat. Standar akuntansi memperbolehkan perusahaan untuk memilih metode akuntansi dari berbagai pilihan alternatif praktik akuntansi, auditor dan pengguna laporan keuangan dapat memperhatikan hal ini dalam mengevaluasi laporan keuangan. Dalam membuat keputusan pemilihan metode akuntansi, karakteristik kualitatif suatu informasi merupakan salah satu hal yang harus dipertimbangkan, karena kualitas ini merupakan komposisi suatu informasi agar dapat bermanfaat (Anonymous, 1980). Dapat dilihat hirarki dari kualitas akuntansi bahwa kualitas utama informasi akuntansi terletak pada relevance dan reliability, yang komposisi pembentuknya adalah predictive value, feedback value, timeliness, compareability, verifiability, neutrality dan representational faithfulness seperti yang disajikan SFAC No. 2 dalam gambar 2. Di dalam PSAK juga menjelaskan mengenai hirarki kualitas akuntansi tersebut sama seperti hirarki kualitas akuntansi seperti halnya SFAC No.2.

Pihak pengguna laporan keuangan - Eksternal dan internal

Berbagai pengguna laporan keuangan dapat berasal dari internal dan eksternal perusahaan. Pengguna internal perusahaan adalah manajer tiap divisi perusahaan dan karyawan perusahaan. Pengguna eksternal perusahaan adalah investor dan calon investor, pemegang saham, kreditur dan calon kreditur, pemerintah, serta masyarakat sekitar (Munawir, 2002). Bagi manajer, laporan keuangan menghasilkan informasi mengenai perkembangan perusahaan, informasi sebagai dasar untuk mengambil keputusan pengelolaan kekayaan perusahaan. Bagi karyawan, laporan keuangan menyediakan informasi mengenai perkembangan perusahaan terkait dengan prospek peningkatan gaji dan kesejahteraan mereka.

Bagi pihak eksternal perusahaan, misalnya bagi pemegang saham, laporan keuangan memberikan informasi mengenai keputusan apa saja yang telah dibuat manajer, dan sebagai dasar penilaian kinerja manajer. Bagi investor, laporan keuangan dijadikan dasar pengambilan keputusan apakah tetap akan menginvestasikan dana miliknya pada suatu investasi tertentu, untuk calon investor laporan keuangan memberikan informasi prospek return yang dihasilkan dari berbagai kesempatan investasi. Bagi calon kreditur, laporan keuangan memberikan informasi yang berguna untuk menganalisis kemampuan calon debitur dalam membayar pokok hutang beserta bunganya.

1. Informasi Laba

Beberapa literatur telah menjelaskan manfaat informasi laba bagi investor. Ball dan Brown (1968) melakukan penelitian terkait informasi laba karena saat itu informasi tentang laba seakan tidak bermakna, tidak memiliki kegunaan. Penyebab dari informasi laba yang tidak bermakna tersebut karena tidak ada kerangka teoritis yang melandasi praktik akuntansi, sehingga terjadi ketidaksamaan praktik. Akibatnya, laba bersih akuntansi hanya sekadar merupakan komponen agregat yang tidak homogen. Laba bersih akuntansi seharusnya menjadi informasi yang lebih bermakna, bukan hanya sekedar membedakan dua puluh tujuh meja dan delapan kursi (Ball dan Brown, 1968). Berdasarkan hal ini, maka Ball dan Brown melakukan pengujian empiris mengenai jumlah laba akuntansi dengan memperhatikan kaitan hasil pengujian tersebut dengan manfaat nyata. Laba bersih merupakan hal yang menjadi perhatian khusus bagi investor, hal inilah yang membuat Ball dan Brown (1968) menggunakan hasil pengujian atas manfaat laba bersih sebagai kriteria prediksi dalam keputusan investasi yang tercermin dalam harga saham.

Sejalan dengan penelitian Ball and Brown, beberapa penelitian lain juga mengkaitkan antara informasi laba tahunan dan kegunaannya bagi investor sebagai alat untuk memprediksi harga saham (Dasilas, Lyroudi dan Ginouglou, 2008; Dennis, 2000; Dastgir dan Talaneh, 2008). Beberapa penelitian juga menggunakan data laba akuntansi kwartalan untuk memprediksi harga saham (Higgins, 2010; Pimentel dan Lima, 2008) menunjukkan bahwa informasi laba kwartalan sangat bermanfaat sebagai input dalam model peramalan harga saham.

1.1. Kualitas Laba

a. Definisi

Definisi kualitas secara umum adalah tingkat baik buruknya atau taraf atau derajat sesuatu (wikipedia). Dengan demikian, kualitas laba merupakan tingkat baik buruknya atau taraf atau derajat laba. Sejauh mana ketepatan pengambilan keputusan yang berdasarkan informasi laba, dapat menjelaskan makna dari kualitas laba.

Chandrarin (2003) dalam Wijayanti (2006) telah menjelaskan bahwa apabila tingkat gangguan persepsi (perceived noise) pada laba akuntansi sangat kecil atau bahkan tidak ada, maka dapat dikatakan laba akuntansi tersebut berkualitas, semakin besar gangguan persepsi tersebut maka kualitas laba akuntansi semakin rendah. Gangguan persepsi dalam laba akuntansi tersebut timbul karena transitory events atau penerapan konsep akrual dalam akuntansi Hayn (1995) dalam Wijayanti (2006). Dari uraian ini, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penerapan konsep akrual dalam akuntansi dapat mempengaruhi kualitas laba, semakin perusahaan banyak menerapkan konsep akrual dalam pelaporan keuangannya maka banyak gangguan persepsi dalam laba akuntansi sehingga mengurangi kualitas laba.

b. Bagaimana menentukan/mengukur kualitas laba?

Dalam rangka mengukur kualitas laba, menurut penjelasan Francis et al. (2003) dalam Mohammady (2010), kriteria yang digunakan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu basis pasar (market-based) dan basis akuntansi (accounting-based). Basis pasar meliputi nilai relevan, konservatisme, dan periode waktu (timelines). Sedangkan basis akuntansi terdiri dari kualitas akrual, daya prediksi, perataan (smoothness) dan persistensi atribut tersebut yang diukur dengan kegunaan informasi akuntansi seperti kas, akrual dan laba. Sedangkan dari beberapa literatur, Schipper dan Vincent (2003) dalam Mohammady (2010) memaparkan kategori konstruk kualitas laba yang diambil dari (1) laba time-series; (2) konsep kualitatif tertentu pada kerangka konseptual FASB (3) hubungan diantara kas, akrual, dan pendapatan (income) dan (4) keputusan penerapan. Meskipun awalnya disebutkan oleh Schipper dan Vincent (2003) dalam Mohammady (2010) kategori konstruk kualitas ada 4, namun mereka menjelaskan secara detil hanya pada 3 kategori. Hal ini dikarenakan konstruk kualitas laba dari time serries dikaitkan dengan konsep kualitas pada kerangka konseptual FASB.

Konstruk pertama dan kedua, time series meliputi persistensi, daya prediksi, nilai timbal balik (feedback value) dan perataan (smoothness). Atribut-atribut ini dikarakteristikkan melalui perilaku laba time series. Menurut Mohammady (2010), persistensi dipandang sebagai sejauh mana kinerja laba berlanjut ke periode berikutnya. "Keberlanjutan" ini kadang-kadang digunakan sebagai sinonim untuk "persistensi”. Untuk daya/nilai prediksi, predictive value (PV) atas laba (earnings) merupakan kemampuan laba masa lalu memprediksi laba masa datang (Lipe 1990, Fairfield, Sweeney and Yohn, 1996; Wild, 1996; Barth, Beaver and Landsman, 2001; Cohen, 2004; Barua, 2006 dalam Mohammady, 2010). Nilai timbal balik (feedback value) merupakan kemampuan informasi untuk mempengatuhi keputusan dengan mengkonfirmasi atau mengkoreksi ekspektasi awal pengambil keputusan (SFAC No. 2 para-51 dalam Mohammady, 2010). Sedangkan perataan laba (earnings smoothness) merupakan aktivitas manajer untuk membuat laba tidak terlalu bervolatilitas dimana aktivitas ini merupakan salah satu dari manajemen laba.

Konstruk ketiga, menurut penjelasan Mohammady (2010), kualitas laba diperoleh dari hubungan antara kas, akrual, dan pendapatan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa mengacu pada standar akuntansi yang mengatur pengakuan laba akuntansi harus berdasarkan metode akrual. Pada metode akrual, pendapatan dan biaya diakui ketika telah terealisasi (realized ). Terealisasi ini bekan berarti telah diperoleh/diterima atau dibayarkan (earned atau paid). Perbedaannya adalah proses terealiasi (realized) terjadi ketika perusahaan telah berhasil menyelesaikan proses produksi sampai barang dan jasa tersebut sudah terjual/ada ditangan konsumen. Namun diperoleh/diterima atau dibayarkan (paid) apabila atas transaksi tersebut sudah terjadi penerimaan dan pengeluaran kas. Singkatnya, pada pendekatan akrual, realisasi tidak berarti kas telah dibayarkan atau diterima dalam suatu transaksi (Ronen and Yaari 2008 dalam Mohammady 2010). Kesimpulan akhirnya dari konstruk kedua ini adalah, laba (earnings) dapat dibagi menjadi dua elemen yaitu: arus kas dan akrual.

Konstruk keempat, kualitas laba dapat diukur melalui keputusan penerapan, maksudnya adalah yang pertama, kualitas laba berbanding terbalik dengan jumlah perkiraan, penilaian dan perkiraan diperlukan regulator laporan keuangan. Ini berarti bahwa kualitas laba akuntansi menurun saat proporsi estimasi manajemen dalam angka yang dilaporkan meningkat sebagai bagian dari pelaksanaan standar pelaporan. Faktor kedua, fokus pada kualitas laba yang akan berbanding terbalik dengan tingkat sejauh mana regulator mengambil keuntungan dari perlunya melakukan penilaian dan mengestimasi untuk membuat peramalan, yang mengarah ke implementasi yang menumbangkan maksud dari standar.

c. Beberapa penelitian empiris terkait kualitas laba

Metode akrual dalam pengakuan pendapatan dan biaya diperbolehkan pada akuntansi, namun untuk tujuan perpajakan tidak diperbolehkan. Manajer yang meng-accrue pendapatannya pada periode ini dapat menghasilkan laba akuntansi yang lebih besar dari yang seharusnya terjadi. Principal dapat meyakini laba yang memperhatikan aturan perpajakan atau laba fiskal karena laba fiskal tidak mengakui adanya pendapatan sebelum diterima. Dengan demikian, perbedaan laba akuntansi dan laba fiskal (book-tax differences dapat digunakan untuk menjelaskan kualitas laba. Dari hasil penelitian Atwood et al. (2010) diketahui bahwa kesesuaian antara laba akuntansi dan laba fiskal berhubungan negatif dengan kualitas laba. Atwood et al. (2010) berpendapat bahwa apabila perusahaan telah melaporkan laba akuntansi yang sesuai dengan laba fiskal maka perusahaan dalam menyusun laporan keuangan memilih prosedur akuntansi yang sesuai dengan aturan pajak. Implikasi dari penelitian Atwood et al. (2010) bahwa laporan keuangan perusahaan tersebut menjelaskan dengan baik informasi yang terkandung didalamnya kepada pihak aparatur pajak namun tidak mampu menjelaskan dengan baik kepada pemegang saham/investor, sehingga hal ini dinamakan kualitas laba yang rendah.

1.2. Book Tax Differences

a. Definisi

Konstruk dan pengukuran kualitas laba yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya menurut penulis diterjemahkan lagi tekniknya melalui book tax differences (BTD). Maksudnya adalah book tax differences (BTD) mampu menjelaskan bagaimana persistensi, akrual dan arus kas perusahaan (Hanlon 2005, Wijayanti 2006). Hal ini juga karena BTD merupakan proxy untuk mengukur kualitas laba (Jackson 2009). Manajemen menghitung laba perusahaan dengan dua tujuan utama tiap tahun, untuk memenuhi tujuan pelaporan sesuai dengan PSAK dan memenuhi aturan dalam Undang-Undang Perpajakan sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan. Demikian pula di Amerika, manajer menghitung laba perusahaan dengan dua tujuan yaitu memenuhi tujuan pelaporan sesuai GAAP dan tujuan pelaporan sesuai Internal Revenue Code (IRC) untuk mencerminkan kewajiban perpajakan perusahaan. Hanlon (2005) menjelaskan bahwa sesuai dengan UU perpajakan di Amerika yaitu IRC pasal 446(a) menyatakan bahwa laba kena pajak harus dihitung berdasarkan metode akuntansi yang biasa dipakai oleh wajib pajak dalam menghitung laba sesuai pencatatan akuntansi. Sehingga mayoritas perusahaan menggunakan perhitungan laba kena pajak berdasarkan metode akrual sesuai dengan metode akuntansinya. Meskipun laba kena pajak ataupun laba akuntansi dihitung berbasis akrual, perbedaan yang besar dapat terjadi antara laba akuntansi dan laba fiskal.

Lev dan Nissim (2004) mengembangkan suatu pengukuran BTD yang ditujukan untuk menggambarkan semua perbedaan dalam pengukuran laba setelah pajak menurut akuntansi dan pajak penghasilan. Kedua perbedaan laba akuntansi dan laba pajak digunakan oleh Lev dan Nissim (2004) dalam tax-based fundamental, yaitu pertama, perbedaan temporer yang berasal dari beda laba akuntansi sebelum pajak dan laba kena pajak karena adanya perbedaan waktu yang diatur dalam standar akuntansi dan aturan pajak (misal depresiasi). Kedua, perbedaan permanen berasal dari akrual sebelum pajak yang tidak dapat dikurangkan (misal penurunan nilai goodwill). Maksud Lev dan Nissim (2004) di sini adalah aturan pajak mengatur secara tegas biaya apa saja yang tidak dapat mengurangi penghasilan sedangkan di dalam standar akuntansi semua biaya dapat menjadi pengurang penghasilan, perbedaan perlakuan yang jelas bertentangan seperti inilah yang dinamakan perbedaan permanen.

Masih sejalan dengan beberapa pendapat sebelumnya, BTD merupakan gap antara laba sebelum pajak yang dilaporkan dalam laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan (book income-laba komersial) dan laba kena pajak yang dilaporkan kepada aparatur perpajakan (Tang et al. 2011). Dari definisi Tang et al. (2011) mendukung pernyataan Hanlon (2005) yang telah diuraikan diatas bahwa BTD timbul karena adanya perbedaan tujuan dalam pelaporan keuangan yaitu tujuan pelaporan akuntansi dan tujuan perlaporan pajak. Dalam mengukur BTD, Tang (2011) melakukan dengan dua cara, yaitu pertama, menggunakan laba akuntansi dikurangi laba kena pajak atau jumlah perbedaan permanen dan perbedaan temporer, yang dinamakan pengaruh laba BTD (income effect BTD’s). Kedua, menggunakan prima facie beban pajak penghasilan (yaitu mengkalikan laba akuntansi dengan tarif pajak pusat) dikurangi beban pajak kini (atau jumlah pengkalian tarif pajak sesuai undang-undang dengan beda permanen dan pengkalian tarif sesuai UU dengan beda temporer).

Mendukung pendapat Tang et al (2011), Weber (2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa BTD dapat timbul dari aplikasi secara wajar dua set aturan pelaporan yang berbeda untuk pemenuhan tujuan pelaporan yang berbeda pula. Pada umumnya, manajer memiliki motivasi untuk meningkatkan laba akuntansi lebih tinggi dan menurunkan laba kena pajak yang dilaporkan kepada aparat perpajakan. Weber (2009) tidak secara jelas mendefinisikan BTD menurut pendapatnya namun langsung menekankan pada implikasi BTD yang diteliti.

Sejalan dengan beberapa diskripsi BTD diatas, Comprix et al. (2011) juga menjelaskan definisi BTD dimulai dengan adanya perbedaan tujuan pelaporan akuntansi yaitu tujuan berbasis GAAP dan tujuan berbasis IRC. Jumlah laba yang dilaporkan berbasis kedua standar ini jarang sekali sama, hal ini menimbulkan apa yang dinamakan BTD. Menurut penjelasan Comprix et al (2011) BTD terjadi karena perbedaan tujuan pelaporan, BTD juga tergantung pada penilaian manajerial dalam menentukan akuntansi keuangan dan implikasi pajak atau aktivitas perusahaan. Sesuai dengan literatur BTD sebelumnya bahwa BTD merefleksikan agresifitas manajer dalam akuntansi keuangan dan praktik pelaporan akuntansi keuangan dan praktik pelaporan pajak.

Hanlon (2005) berpendapat bahwa beberapa perbedaan dikenal dengan perbedaan permanen, yaitu apabila suatu item termasuk di dalam satu pengukuran laba namun tidak dimasukkan dalam pengukuran yang lain. Pada beberapa penelitian BTD, jarang sekali yang memasukkan perbedaan permanen karena sangat sulit untuk diukur. Dengan demikian banyak penelitian BTD menggunakan perbedaan temporer dibandingkan dengan perbedaan permanen.

b. Book Tax Differences dan Book Tax Conformity

Pada bagian sebelumnya telah disinggung sedikit mengenai kesesuaian antara laba akuntansi dengan laba fiskal (book tax conformity-BTC). Makalah ini juga menggunakan literatur book tax conformity (BTC) untuk memperkaya dukungan literatur BTD oleh karena penelitian di bidang BTD masih sangat sedikit. Penelitian mengenai BTC antara lain pernah dilakukan oleh Atwood et al. (2011) dan Hanlon et al. (2008). Book tax conformity (BTC) mengandung makna yang sama dengan BTD namun perspektifnya saja yang berbeda. Persamaan makna adalah keduanya merupakan hubungan antara laba akuntansi dengan laba fiskal yang menjelaskan bagaimana kualitas laba. Namun, BTD menjelaskan kualitas laba dari perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal. Semakin besar BTD maka semakin kecil persistensi laba semakin rendah kualitas laba (Hanlon 2005). Di sisi BTC, semakin besar BTC (antara laba akuntansi dan laba fiskal semakin sesuai) maka akan semakin mengurangi kualitas laba karena didalam membuat laporan keuangan, perusahaan memilih metode akuntansi yang sangat memperhatikan aturan pajak sehingga laporan keuangan dirasa kurang dapat memberikan informasi kepada stakeholder lain (diluar aparatur pajak) dalam menjelaskan kondisi keuangan perusahaan khususnya kepada investor (Atwood et al. 2010).

c. Literatur-literatur Book Tax Differences

Selain menjadi proksi kualitas laba, dari beberapa literatur mengenai BTD menjelaskan berbagai manfaat/kegunaan BTD bagi stakeholder laporan keuangan. BTD dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa ekonomi yang mendasari atau informasi pribadi manajemen tentang kinerja masa depan atau hanya memprediksi masa depan atas pembalikan tarif pajak efektif (reveals in effective tax rates). Banyak penelitian yang merujuk dan mengembangkan hasil penelitian Lev dan Nissim (2004), dimana Lev dan Nissim pertama kali menggunakan tax based fundamental untuk memprediksi pertumbuhan laba (earning growth). Dalam menghitung tax based fundamental tersebut Lev dan Nissim menggunakan BTD (ratio laba fiskal terhadap laba akuntansi). Merujuk pada Lev dan Nissim (2004), Jackson (2009) melakukan penelitian mengenai manfaat BTD dalam memprediksi earning growth dengan membagi total BTD menjadi komponen permanen dan temporer. Atwood et al. (2010) meneliti manfaat BTC dalam menentukan persistensi laba, dan memprediksi arus kas masa depan. Hanlon (2005) melakukan penelitian manfaat BTD dalam menentukan persistensi laba, menjelaskan hubungan antara laba, arus kas dan akrual. Wijayanti (2006) pernah mereplikasi penelitian Hanlon (2005) namun dengan objek pada perusahaan di Indonesia. Seperti halnya dengan Hanlon (2005), Atwood et al. (2011) juga meneliti mengenai persistensi laba dan hubungan antara laba dan arus kas namun bedanya perspektif yang digunakan adalah kesesuaian antara laba akuntansi dan laba fiskal bukanlah perbedaan laba akuntansi dan laba fiskal. Manfaat lain BTD yang pernah diteliti oleh Tang et al. (2011) adalah kemampuan BTD dalam menggambarkan/menunjukkan adanya earning manajemen pada bank-bank di Cina.

Comprix et al (2011) meneliti perbedaan opini diantara investor mengenai risiko dan return saham apabila investor mempertimbangkan informasi BTD. Seperti halnya Comprix et al., Weber (2009) juga melakukan penelitian dengan melihat respon investor terhadap BTD, namun Weber tidak hanya melihat respon investor tetapi juga respon analis mengenai apakah kedua pihak tersebut mengapresiasi BTD untuk memprediksi laba masa depan (future earnings). Penelitian mengenai apresiasi analis atas BTD dalam membuat peramalan tidak hanya dilakukan oleh Weber, Yuan (2008) meneliti apakah analis keuangan memperhatikan BTD dalam membuat peramalan atau rekomendasi.

Penelitian mengenai BTD yang dilakukan oleh Guenter dan Sansing (2000) mengenai dengan dampak adanya BTD terhadap nilai perusahaan. Guenter dan Sansing (2000) ingin melihat apakah adanya BTD memiliki relevansi nilai bagi perusahaan dengan membandingkan market value perbedaan temporer (DTL dan DTA) dengan book value-nya. Selain itu, penelitian mengenai value relevance serupa dilakukan oleh Yoon (2008) namun ada perbedaan perspektif. Yoon (2008) meneliti dari kesesuaian laba fiskal dan laba akuntansi terhadap relevansi nilai informasi laba atau komponen laba.

Selain manfaat analisis BTD terhadap pasar modal, ternyata analisis BTD sebagai proksi atas kualitas laba juga bermanfaat bagi kreditur dalam menilai kelayakan kredit, resiko kredit terhadap calon debiturnya. Hal ini pernah diteliti oleh (Wilson, 2010) dimana membuktikan bahwa perubahan BTD pada perusahaan memberikan sinyal kepada analis kredit bahwa terjadi perubahan kualitas laba perusahaan tersebut.

Di dalam menghitung BTD, ada tiga kemungkinan hasilnya adalah (Revsine et al. 2001 dalam Wijayanti, 2006) dan Hanlon (2005):

1) Book-tax differences besar positif (Large positive BTD-LPBTD), yaitu selisih antara laba akuntansi dan laba fiskal, dimana laba akuntansi lebih besar daripada laba fiskal.

2) Book-tax differences besar negatif (Large negative BTD-LNBTD), yaitu selisih antara laba akuntansi dan laba fiskal, dimana laba akuntansi lebih kecil dari laba fiskal.

3) Book-tax differences kecil (Small BTD), selisih yang sangat kecil sekali antara laba akuntansi dan laba fiskal.

Beberapa manfaat/kegunaan BTD terhadap stakeholder perusahaan khususnya bagi investor akan diuraikan lebih lanjut pada sub bagian paper berikut ini.

1.1.1. Manfaat book tax differences bagi Investor

a. Book Tax Differences dan Prediksi Manajemen Laba

Ronen dan Yaari (2008) dalam Fard et al. (2011) memberikan definisi manajemen laba secara formal dengan mempertimbangkan baik pendekatan costly contracting (manajemen laba digunakan untuk mempengaruhi hasil kontraktual) dan pendekatan informasi (manajemen laba digunakan untuk menyesatkan stakeholder): "manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam penataan transaksi untuk mengubah laporan keuangan entah itu agar menyesatkan beberapa stakeholder mengenai kinerja ekonomi yang mendasari perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang bergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan.

Ada beberapa motivasi bagi manajer mengapa mereka memanipulasi laba yang dilaporkan, yaitu untuk mencapai beberapa tujuan seperti meraih target laba, bonus karyawan, kontrak hutang, motivasi pemegang saham dan harga saham Phillips et al. (2003) Secara umum, literatur sampai saat ini telah menemukan bahwa perusahaan-perusahaan umumnya hanya memakai laba sebagai benchmark seperti estimasi konsensus analis saham (DeGeorge et al., 1999 Dalam, Phillips et al, 2003), harga saham cenderung bereaksi sangat tidak menguntungkan karena kejutan laba negatif (Barth et al, 1999 dalam Phillips et al, 2003), perusahaan dapat meningkatkan reputasi mereka dengan para pemangku kepentingan seperti pelanggan dengan mengelola laba (Burgstahler dan Dichev, 1997 dalam Phillips et al. 2003) dan manajer melakukan kebijakan akuntansi untuk memaksimalkan bonus (Healy, 1985). Namun, tidak ada bukti bahwa laba dikelola (di-manage) untuk mengurangi kemungkinan melanggar perjanjian (Watts dan Zimmerman, 1990)

Standar akuntansi memperbolehkan manajemen untuk memilih salah satu dari metode akuntansi yang ada dan menerapkan pada penyusunan laporan keuangan sesuai kebijakan akuntansi perusahaan. Kecenderungannya adalah manajer memilih metode akuntansi tertentu yang dapat memperbesar laba akuntansi.

Lev dan Nissim (2004) berpendapat kemampuan tax-based fundamental (yaitu ratio antara laba akuntansi dan laba fiskal) lebih baik/lebih tepat dalam memprediksi pertumbuhan laba dan return saham serta menjelaskan ratio earning-price. Ketika terjadi overstated laba kini, ekspektasi pertumbuhan setelah pelaporan laba akan lebih rendah dan peramalan laba mendatang akan lebih rendah (understatement). Overstatement laba kini misal berasal dari mengakui pendapatan masa depan pada saat ini atau meng-accrue pendapatan dari proyek jangka panjang sebagai pendapatan saat ini dapat menyebabkan laba mendatang understated. Sebaliknya, laba fiskal tidak memasukkan komponen akrual yang biasanya digunakan untuk memanajemen laba. Dari penelitian Lev dan Nissim (2004) ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan melihat nilai book-tax differences maka dapat digunakan sebagai prediksi manajemen laba yang dilakukan perusahaan.

Tang dan Firth (2011) juga meneliti mengenai memprediksi adanya manajemen laba pada perusahaan di China. Desain penelitian Tang yaitu dengan mengukur BTD yang terjadi di Cina dengan menggunakan dua cara, yaitu: pertama, menggunakan laba akuntansi dikurangi penghasilan kena pajak atau dengan menjumlah perbedaan temporer dan permanen, ini disebut sebagai efek laba akuntansi dari BTD. Cara kedua adalah menggunakan bukti valid atas beban pajak penghasilan (perkalian antara laba akuntansi dengan tarif PPh) dikurangi dengan beban pajak kini (penjumlahan dari hasil perkalian tarif PPh dengan perbedaan permanen dan perkalian tarif PPh dengan perbedaan temporer), ini dinamakan sebagai efek pajak dari BTD.

Penelitian Tang ini sesuai dengan penelitian BTD yang pernah dilakukan oleh Phillips et al. (2003) dan Hanlon (2005) dimana kedua penelitian tersebut berusaha menguji perilaku manajemen laba dan manajemen pajak dengan menghubungkan pada perbedaan temporer dalam BTD. Untuk perbedaan permanen dalam BTD, penelitian sebelumnya juga berusaha untuk menguji perilaku manajemen laba dan manajemen pajak seperti yang pernah dilakukan oleh Frank et al. (2009) dalam Tang dan Firth (2011). Pada akhirnya Tang dan Firth (2011) menggunakan total BTD yang terdiri dari perbedaan temporer dan permanen untuk menguji aktifitas manajemen laba dan manajemen pajak.

Untuk menguji kemampuan BTD dalam memprediksi manajemen laba dan pajak di China, Tang dan Firth (2011) menggunakan normal BTD (NBTD) dan abnormal BTD (ABTD). Normal BTD dijelaskan dari perubahan dalam penjualan, gross porperty, plant and equipment (PPE), aset tidak berwujud non-goodwill dan posisi kerugian pajak (Manzon dan Plesko, 2002 dalam Tang dan Firth, 2011). Untuk mengestimasi NBTD, Tang dan Firth (2011) meregresi total BTD pada item non diskresioner. Lebih lanjut dijelaskan bahwa NBTD diperoleh dengan mencari perbedaan mekanis antara standar akuntansi dan aturan pajak dan diskalakan dengan skala investasi pada aset tetap dan aset tidak berwujud, pertumbuhan ekonomi, posisi rugi pajak dan perbedaan tarif pajak (antar perusahaan konsilidasi).

Abnormal BTD yang dimaksud dalam penelitian Tang dan Firth (2011) adalah semua item diluar item yang telah digunakan dalam mencari NBTD. Abnormal BTD diestimasi dengan meregresikan dengan satu set variabel yang merupakan proksi dari berbagai motivasi manajemen laba dan pajak. Variabel tersebut terdiri atas tarif PPh, jumlah perbedaan tarif PPh yang dikenakan dalam entitas suatu perusahaan konsolidasi, apakah perusahaan konsolidasi memiliki hak dalam penawaran publik, apakah perusahaan konsolidasi mengalami kerugian, apakah perusahaan konsolidasi merupakan perusahaan publik yang dikendalikan oleh pemerintah daerah, apakah perusahaan merupakan perusahaan manufaktur, dan dikontrol dengan ukuran perusahaan.

Hasil yang diperoleh dari penelitian Tang dan Firth (2011) adalah BTD dapat menggambarkan distorsi pelaporan keuangan yang disebabkan oleh motivasi manajemen setelah mengontrol pengaruh peraturan/standar. Perusahaan dengan dorongan untuk melakukan manajemen laba dan pajak yang tinggi memiliki ABTD yang lebih besar. Efek pajak dari BTD menggambarkan dengan lebih baik manajemen laba dan pajak dibanding dengan efek laba akuntansi dari BTD baik itu dalam tingkat konseptual maupun dalam uji empiris.

Dari temuan penelitian Tang dan Firth (2011) menambah wawasan di bidang akuntansi lingkup internasional mengenai penelitian manajemen laba dan manajemen pajak. Temuan Tang dan Firth memberikan suatu bukti bahwa normal BTD dan abnormal BTD merupakan ukuran terpercaya dalam memprediksi manajemen laba.

b. Book Tax Differences dan Prediksi Nilai Saham

Nilai saham yang dimaksud dalam paper ini adalah harga saham dan return saham. Beberapa penelitian telah menguji hubungan atau pengaruh book-tax differences terhadap nilai saham. Comprix et al. (2011) meneliti pengaruh informasi BTD terhadap perbedaan opini investor, dengan variabel turnover, dispersion dan varian in return sebagai variabel dependen. Penelitian Comprix et al. (2011) tersebut memberikan penjelasan bahwa book tax differences ditanggapi berbeda oleh investor yang diukur dengan turnover saham, dispersi dan varian dalam return.

Nilai saham suatu perusahaan yang terdaftar di pasar saham dapat tercermin dari respon investor. Investor umumnya mencari perusahaan yang bernilai tinggi dalam menginvestasikan uang mereka pada pasar saham. Minat/permintaan saham yang tinggi pada suatu perusahaan menunjukkan bahwa nilai saham perusahaan tersebut baik/tinggi. Comprix et al. (2011) berusaha untuk menangkap nilai saham perusahaan dari respon/opini investor. Tidak hanya itu, Comprix et al. berusaha untuk menguji bagaimana pengaruh BTD terhadap opini investor dalam menilai saham perusahaan.

Pengujian yang dilakukan oleh Comprix et al. tersebut mendefinisikan BTD sama dengan beberapa literatur/penelitian terdahulu yang dijadikan referensi oleh Comprix et al. dan beberapa diantaranya telah dibahas pula dalam kajian literatur ini. Selain menguji pengaruh BTD secara keseluruhan (jumlah total BTD) terhadap perbedaan opini investor, Comprix et al. (2011) juga memisahkan pengaruh perbedaan temporer dan perbedaan permanen dalam BTD. Prediksi nilai saham yang tercermin dari reaksi/opini investor diukur melalui turnover saham, dispersi saham dan varian dari return saham. Ketiga ukuran tersebut digunakan oleh Comprix et al. (2011) dalam pengujian hipotesis penelitian mereka dan beberapa variabel keuangan digunakan sebagai variabel kontrol untuk mengontrol faktor lain yang mungkin dapat berpengaruh pada ketidakpastian pasar. Beberapa variabel kontrol tersebut adalah harga saham, ukuran perusahaan, dan jangkauan analis. Diolah menggunakan analisis regresi panel, hasilnya bahwa BTD secara total terbukti meningkatkan perbedaan opini diantara investor. Hasil penelitian Comprix et al. (2011) berhasil membuktikan juga bahwa perbedaan opini investor meningkat disebabkan oleh perbedaan permanen dalam BTD. Namun, untuk perbedaan temporer dalam BTD tidak menunjukkan bukti kuat bahwa perbedaan temporer tersebut meningkatkan perbedaan opini investor.

Seperti yang telah diulas pada dua paragraf sebelumnya bahwa, opini investor mencerminkan nilai saham yaitu harga dan return saham sehingga apabila terjadi perbedaan opini antara investor mengindikasikan bahwa respon/minat investor terhadap saham perusahaan berbeda-beda. Peningkatan perbedaan opini diantara investor dapat diartikan bahwa semakin berbeda masing-masing investor dalam membuat prediksi mengenai peluang keuntungan yang akan mereka peroleh apabila memutuskan untuk menginvestasikan uang miliknya pada suatu saham perusahaan yang ditawarkan di pasar saham. Prediksi peluang keuntungan dari suatu saham dalam istilah pasar modal bisa melalui dividen saham atau melaui kenaikan harga saham yang dimiliki investor di masa mendatang (capital gain dan return saham). Bukti bahwa BTD mempengaruhi perbedaan opini investor dapat dijadikan acuan bahwa BTD dapat digunakan dalam memprediksi nilai saham.

Sebelum penelitian Comprix et al. (2011) dilakukan, Lev dan Nissim (2004) meneliti mengenai nilai ekuitas yaitu return dan harga saham. Penelitian Lev dan Nissim ini pula yang menjadi salah satu sumber rujukan Comprix et al. dalam melakukan pengujian mengenai BTD. Dapat dikatakan bahwa penelitian Lev dan Nissim (2004) ini menjadi salah satu rujukan peneliti lain mengenai analisis yang berkaitan dengan tax based fundamental (yaitu ratio antara laba fiskal terhadap laba akuntansi).

Perkembangan gap hasil riset sejak 1973 sampai 1990 an mengenai keterkaitan informasi laba fiskal (penghasilan kena pajak) dengan penilaian sekuritas menarik perhatian investor untuk memperhatikan informasi ini di awal sebelum membuat keputusan investasi yang berkualitas di masa mendatang. Apabila berbicara mengenai laba fiskal atau juga biasa disebut sebagai penghasilan kena pajak tidak akan lepas dari konsep BTD. Hal ini dikarenakan dalam mencari laba fiskal harus terlebih dahulu mengkoreksi komponen-komponen perbedaan temporer dan perbedaan permanen yang masih terkandung di dalam laba akuntansi. Dari hasil penelitian Lev dan Nissim (2004) diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan positif antara ukuran BTD dengan return saham mendatang.

a. Book Tax Differences dan Prediksi Future Earnings

Future earning yang dimaksud dalam paper ini adalah laba akuntansi masa depan (periode mendatang) yang diestimasi berdasarkan analisis investor terhadap BTD yang dilaporkan perusahaan dalam catatan laporan keuangan perusahaan. Book-tax differences (BTD) dapat dipakai dalam memprediksi future earnings. Berdasarkan hasil penelitian Lev dan Nissim (2004) yang menemukan bahwa terjadi mispricing pada pasar saham saat menggunakan BTD, Weber (2009) mengembangkan penelitian Lev dan Nissim tersebut untuk membuktikan apakah analis dan investor benar-benar mempertimbangkan dampak BTD dalam memprediksi future earnings? Weber beranggapan bahwa pemisahan antara mispricing dan omitted risk factor dapat digunakan sebagai alternatif untuk menjelaskan bahwa kemampuan BTD dalam memprediksi future return dapat berkontribusi pada literatur pasar efisien yang selalu memperhatikan informasi akuntansi. Weber menjelaskan bahwa BTD yang menyebabkan mispricing pada pasar adalah karena:

1. Para analis gagal memasukkan sepenuhnya informasi yang terkait BTD kedalam peramalan mereka.

2. Kemampuan BTD dalam memprediksi return saham terkonsentrasi pada perusahaan yang memiliki lingkungan informasi lemah.

3. Kemampuan BTD dalam memprediksi future return menurun dengan mengkontrol eror peramalan analis.

Dari penelitian yang dilakukannya, Weber (2009) berharap dapat menyediakan bukti yang memoderasi kemungkinan kegagalan analis dalam menggunakan BTD pada saat membuat suatu peramalan investasi. Weber juga bertujuan untuk mencari bukti bahwa baik investor maupun analis dapat meningkatkan ketepatan ekspektasi earnings dengan lebih memperhatikan informasi BTD secara lengkap.

Di awal penelitiannya, Weber (2009) menjelaskan BTD melalui penjelasan terlebih dahulu konsep perbedaan pengukuran laba untuk tujuan pelaporan keuangan perusahaan dan pelaporan terkait pajak. BTD timbul sebagai konsekuensi dari penerapan yang tidak bias atas dua set aturan yang berbeda yang didisain untuk tujuan pelaporan yang berbeda. Kecenderungannya adalah manajer menaikkan laba untuk tujuan pelaporan keuangan dan menurunkan laba untuk tujuan pelaporan ke aparatur pajak (tujuan pemenuhan kewajiban perpajakan). Oleh karena itu, BTD dapat merupakan akibat penggunaan kebijakan manajer dalam mengatur laba akuntansi dengan maksud menghindari naiknya laba kena pajak atau menggunakan perencanaan laba dan mengubah strategi untuk mengurangi laba kena pajak tanpa mengurangi laba akuntansi.

Weber berpendapat pula bahwa beberapa hal terkait BTD yang telah diuraikan pula diparagraf sebelumnya mengindikasikan bahwa BTD dapat menyediakan informasi yang bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja saat ini dan memprediksi kinerja mendatang. Dari hasil penelitian Weber, diperoleh hasil bahwa estimasi laba fiskal meliputi informasi mengenai pertumbuhan laba masa depan (future earnings growth), dengan pajak penghasilan yang relatif rendah (dibandingkan dengan laba akuntansi) dihubungkan dengan laba masa depan yang lebih rendah.

Penelitian Weber ini memberikan bukti bahwa analis keuangan dan investor tidak menggunakan seluruh informasi BTD sehingga menyebabkan kesalahan dalam membuat peramalan keuangan. Secara rata-rata, peramalan keuangan lebih overoptimistic pada perusahaan dengan laba fiskal yang lebih rendah, hal ini mengindikasikan bahwa terjadi kegagalan dalam mengantisipasi kecenderung perusahaan tersebut memiliki laba masa depan yang lebih rendah (lower future earnings).

Namun sebaliknya, untuk perusahaan dengan lingkungan informasi yang lebih kuat, eror yang disebabkan BTD dalam meramalkan future earnings tidak terlalu parah. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya ketersediaan informasi yang relevan mengenai perusahaan selain informasi BTD dan mendukung informasi BTD, maka seorang analis dapat memasukkan informasi tersebut kedalam peramalan future earnings dengan biaya rendah dan mengurangi kesalahan peramalan. Tujuan Weber dalam melakukan penelitian ini tercapai, yaitu berhasil memperoleh bukti kesalahan peramalan keuangan salah satunya adalah kesalahan peramalan laba masa depan (future earnings ) oleh analis ketika menggunakan BTD tidak akan terjadi (kecil kemungkinan terjadi eror) apabila mempertimbangkan informasi BTD secara komplit.

Terkait dengan future earnings, Hanlon (2005) menginvestigasi peranan BTD dalam mengindikasi persistensi laba, akrual dan arus kas untuk satu periode laba. Kemampuan BTD dalam memprediksi future earnings yang sedang dibahas pada bagian ini dapat saja dikaitkan dengan penelitian Hanlon (2005) yaitu pada bagian persistensi laba. Menurut Mohammady (2010), persistensi dipandang sebagai sejauh mana kinerja laba berlanjut ke periode berikutnya. Menggunakan pengertian persistensi dari Mohammady tersebut, dapat dicerna lebih lanjut bahwa keberlanjutan laba saat ini ke periode selanjutnya merupakan salah satu dari upaya memprediksi laba periode selanjutnya (atau laba masa depan-future earnings). Dengan demikian pada bagian ini akan mengulas mengenai hasil penelitian Hanlon (2005) khususnya mengenai kaitan BTD dengan persistensi laba.

Tujuan penelitian Hanlon (2005) adalah menginvestigasi peranan perbedaan temporer dalam BTD dalam mengindikasikan persistensi laba, akrual dan arus kas, serta peranannya dalam mempengaruhi penilaian investor mengenai persistensi laba dan komponen laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan-tahun yang BTD-nya besar dan positif memiliki persistensi laba yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan-tahun yang BTD-nya lebih rendah. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan-tahun yang BTD-nya besar dan negatif laba, akrual dan arus kas kurang persisten. Terakhir, Hanlon juga menginvestigasi penggunaan BTD oleh pasar dalam menilai persistensi laba. Hasilnya adalah konsisten dengan penilaian pasar mengenai rendahnya ekspektasi persistensi laba untuk perusahaan-tahun yang BTD-nya besar dan positif, hal ini berarti bahwa investor mengintepretasikan informasi sebagai bendera merah (pertanda bahaya) mengenai kualitas laba saat ini. Secara keseluruhan, tampak bahwa BTD berpengaruh pada persepsi investor atas persistensi laba, namun, BTD yang besar tidak sepenuhnya membantu investor dalam menilai persistensi laba atau komponennya karena tiap kelompok perusahaan-tahun (yaitu perusahaan-tahun yang BTD-nya besar dan positif, perusahaan-tahun yang BTD-nya besar dan negatif, serta perusahaan-tahun yang BTD-nya kecil) menghasilkan inefisiensi return.

Hasil temuan penelitian Hanlon (2005) tersebut memberikan dukungan pada beberapa kongres yang sedang berlangsung untuk membahas mengenai kebutuhan tambahan pengungkapan pajak oleh perusahaan. Pengungkapan BTD yang besar oleh perusahaan dalam laporan keuangan menyediakan informasi mengenai persistensi kinerja saat ini dan memiliki kemampuan untuk memprediksi future earnings. Dari hasil penelitian Hanlon (2005) tersebut nampak bahwa investor menilai ekspektasi persistensi berbeda untuk perusahaan-tahun yang BTD-nya besar.

b. Book Tax Differences dan Prediksi Future Cash Flow

Future cash flow yang dimaksud dalam kajian teorits ini adalah kemungkinan besaran cash flow (arus kas masuk dan keluar) perusahaan pada periode mendatang yang terdiri dari arus kas operasi, arus kas investasi, dan arus kas pendanaan. Melalui BTD, investor bisa memprediksi cash flow pada periode mendatang. Book-tax differences diketahui oleh investor melalui laporan rekonsiliasi laba akuntansi menjadi laba fiskal yang tercantum dalam catatan laporan keuangan perusahaan. Mengapa dapat dikatakan bahwa dengan melihat BTD, investor bisa mengetahui perkiraan/potensi arus kas masuk dan arus kas keluar perusahaan tersebut akan dijelaskan pada bagian ini.

Perbedaan temporer dan perbedaan permanen yang harus dikoreksi dari laba akuntansi timbul karena beberapa hal. Misal dalam hal pengakuan pendapatan yang masih belum diterima secara tunai. Menurut standar akuntansi memperbolehkan untuk mengakui pendapatan yang belum diterima secara tunai contoh pada penjualan secara kredit. Standar akuntansi memperbolehkan pengakuan pendapatan (meng-accrue) pada periode tersebut apabila memang telah terjadi penjualan. Namun menurut aturan pajak, pengakuan pendapatan secara akrual tersebut tidak diperbolehkan. Pendapatan hanya boleh diakui setelah diterima secara tunai (pajak menganut cash basis). Apabila perbedaan seperti ini, maka akrual pendapatan tersebut harus dikoreksi dari laba fiskal dan termasuk dalam komponen perbedaan termporer. Dari sini, maka investor dapat memprediksi adanya arus kas masuk dikemudian hari pada perusahaan yang berasal dari pelunasan piutang oleh pelanggan (Waluyo, 2010:190).

Beberapa analis keuangan mengkaitkan operating cash flow untuk menilai kualitas laba, dan meyakini bahwa semakin tinggi rasio arus kas operasi terhadap laba bersih maka semakin tinggi kualitas laba (Wijayanti, 2006). Hasil penelitian Hanlon (2005) mengindikasikan bahwa perusahaan yang mempunyai BTD besar baik positif maupun negatif maka pesistensi cash flow untuk tahun ini akan kecil. Hal ini berarti bahwa BTD mengandung informasi mengenai aliran pokok dari cash flow. Hasil penelitian Hanlon (2005 tersebut menyatakan bahwa investor nampak menilai dengan tepat persistensi komponen akrual dari laba untuk perusahaan-tahun yang BTD-nya besar dan positif, namun terlalu rendah dalam memprediksi persistensi cash flow.

Seperti halnya dengan Hanlon (2005), Atwood et al. (2010) juga melakukan penelitian terkait BTD dikaitkan dengan persistensi laba dan menguji hubungan antara laba dengan future cash flow. Dalam penelitiannya, Atwood menguji apakah persyaratan kesesuaian pajak dan akuntansi yang diharuskan oleh suatu negara berpengaruh terhadap persistensi laba setahun kedepan dan hubungan antara laba saat ini dengan cash flow setahun kedepan. Hasil penelitian Atwood menunjukkan bahwa persistensi laba dan hubungan antara laba saat ini dengan future cash flow rendah ketika persyaratan suatu negara uang mengharuskan perusahaan menyesuaikan laporan keuangannya untuk tujuan perpajakan sangat tinggi. Dari hasil penelitian tersebut dapat dianalisis bahwa apabila perusahaan semakin menyesuaikan laporan keuangannya untuk tujuan pajak, ini berarti kualitas informasi keuangan untuk mendukung kepentingan investor sangat rendah sehingga investor tidak dapat dengan tepat memprediksi future cash flow. Lebih lanjut dari hasi penelitian tersebut, kesesuaian yang tinggi antara laba akuntansi dengan laba pajak berarti BTD-nya rendah menyebabkan kemampuan memprediksi future cash flow berkurang. Dari hasil penelitian Atwood et al. (2010) dapat mengandung arti bahwa BTD yang tinggi dapat meningkatkan kemampuan investor dalam memprediksi future cash flow dengan lebih baik.

1. Kesimpulan

Laporan keuangan digunkan para pemangku kepentingan perusahaan salah satunya adalah investor sebagai dasar dalam pengambilan keputusan investasi. Laporan keuangan yang disusun oleh manajemen perusahaan sarat didalamnya terjadi ketimpangan informasi (information assymetry). Manajemen perusahaan mengetahui semua informasi terkait dengan perusahaan misal pertimbangan manajemen dalam memilih suatu metode akuntansi tertentu dalam laporan keuangan namun disisi lain investor hanya mengetahui informasi mengenai kondisi perusahaan hanya melaui laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan.

Investor membutuhkan informasi dari laporan keuangan yang mampu meminimalkan kesalahan mereka dalam membuat keputusan investasi. Kemampuan investor dalam mengambil keputusan investasi yang tepat sangat didukung oleh kualitas informasi yang dihasilkan laporan keuangan. Salah satu kualitas informasi tersebut adalah kualitas laba perusahaan.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan kualitas laba, salah satunya adalah penentuan kualitas laba dengan menggunakan book-tax differences ((BTD). Kajian teoritis ini membahas atau mengulas beberapa penelitian mengenai BTD khususnya kemampuan BTD dalam membantu pengambilan keputusan oleh investor yaitu dalam memprediksi manajemen laba, nilai saham, laba mendatang (future earnings) dan arus kas mendatang (future cash flow). Dari hasil kajian teoritis ini dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa BTD memang mampu dalam memprediksi manajemen laba, nilai saham, laba mendatang dan arus kas mendatang.