Saturday, September 14, 2013

Pengaruh PSAK No. 55 (Revisi 2006): Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan, Terhadap Earnings Informativeness dan Kemampuan Pasar Dalam Memprediksi Laba Mendatang

ABSTRAK

Penelitian ini menguji apakah penerapan perubahan standar akuntansi yaitu PSAK No. 55 (revisi 2006) mempengaruhi informasi laba dalam laporan keuangan sehingga dapat berdampak pada earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang. Fokus penelitian ini adalah membandingkan apakan pengakuan dan pengukuran penyisihan penurunan nilai dan penyisihan kerugian piutang menyebabkan perbedaan pada Earnings Response Coefficient (ERC) dan Forward Earnings Response Coefficient (FERC). Dua hasil penelitian ini, yaitu koefisien laba tahun ini meningkat setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dibandingkan dengan sebelum penerapan. Namun, hasilnya tidak signifikan, dibandingkan dengan periode sebelum penerapan Hasil kedua, penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mampu meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (FERC meningkat). Ditunjukkan dari koefisien laba tahun depan setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) lebih besar dan signifikan daripada sebelum penerapan.

Kata Kunci: PSAK No. 55 (revisi 2006); earning response coefficient, forward earnings response coefficient

I.     PENDAHULUAN

Paper ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan perubahan standar akuntansi yaitu PSAK No. 55 (revisi 2006) mempengaruhi informasi laba dalam laporan keuangan sehingga dapat berdampak pada earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang. Berbagai literatur telah menyediakan perbedaan bukti mengenai dampak perubahan praktik/standar akuntansi pada earnings informativeness dan prediksi laba mendatang (forward earning response coefficient-FERC). Hanlon et al. (2008) menemukan bahwa perubahan standar akuntansi pada negara yang menyesuaikan dengan aturan pajaknya membuat earnings informativeness berkurang. Sebaliknya Ettredge et al. (2005) menemukan bahwa setelah perusahaan menerapkan SFAS No. 131 mengenai Business Segment Data, berakibat pada peningkatan kemampuan stock price informativeness pada perusahaan yang telah melaporkan multi segmen sebelumnya,
Sejak 2006, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) telah melakukan berbagai revisi PSAK di Indonesia dengan mengkonvergen pada IFRS. Ikatan Akuntan Indonesia telah menetapkan bahwa untuk seluruh entitas yang berakuntabilitas publik, wajib menerapkan PSAK Besar (yaitu PSAK yang mengadopsi penuh IFRS) per 1 Januari 2011. Untuk PSAK No. 55 (revisi 2006) berdasarkan ketentuan oleh DSAK mulai diterapkan per 1 Januari 2009, namun pada praktiknya penerapan secara umum mundur satu tahun yaitu pada 1 Januari 2010.
Fokus dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi apakah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) berpengaruh pada earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings. Mengapa perlu dilakukan penelitian ini? Selain adanya perbedaan hasil riset seperti telah disebutkan pada paragraf awal, yaitu hasil penelitian Hanlon et al. (2008) dan Ettredge et al. (2005), Laporan Keuangan harus memenuhi karakteristik kualitatif yaitu relevan dan reliabel. Salah satu contoh perubahan PSAK No. 55 (revisi 2006) adalah jika sebelum revisi PSAK, pengakuan piutang ialah sebesar nilai bersih yang dapat terealisasi, cadangan kerugian piutang dinilai berdasarkan umur historis piutang. Namun setelah revisi 2006, perusahaan harus mengestimasi penurunan nilai piutang, yaitu harus ada bukti objektif  bahwa terdapat peristiwa yang menyebabkan penurunan nilai, yakni piutang tidak dapat tertagih sebesar nilai saat ini. Untuk menentukannya maka perusahaan menggunakan nilai wajar dimana harus memperhatikan time value of money, tingkat diskonto sesuai dengan kapan terjadinya piutang tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan dasar pengukuran aset dan kewajiban keuangan adalah biaya historis. Sehubungan dengan karakteristik kualitatif, konsep biaya historis dapat memenuhi kualitas reliabel karena mudah memastikan kebenaran nilainya berdasarkan dokumen transaksi. Akan tetapi konsep historis tidak lagi relevan apabila memperhitungkan time value of money.  Sebaliknya konsep nilai wajar berdasarkan PSAK No. 55 (revisi 2006) sangat relevan dalam menilai cadangan kerugian penurunan piutang karena mempertimbangkan time value of money, namun estimasi nilai wajar tersebut tidak bisa diyakini keandalannya karena penuh dengan subjektivitas penilai (appraisal), mengorbankan reliability-nya. Hal ini sesuai dengan Richardson et al. (2005), yang mengungkapkan bahwa selalu terjadi trade-off antara reliability dengan relevance. Pada papernya Richardson et al. (2005) berargumen bahwa pengakuan terhadap estimasi akrual yang kurang reliabel akan membawa pada kesalahan pengukuran (measurement error) yang dapat mengurangi persistensi earnings dan membawa pada mispricing saham.
Penilaian piutang berdasarkan nilai wajar ini diadopsi dari standar akuntansi internasional/IFRS. Banyak anggapan bahwa akuntansi nilai wajar memiliki relevansi nilai yang lebih dibandingkan dengan biaya historis. Salah satunya adalah penelitian oleh Hassan et al. (2006) menginvestigasi apakah informasi nilai wajar memiliki relevansi nilai untuk perusahaan di Australia khususnya pada industri ekstraktif. Dimana standar akuntansi di Australia telah mengalami perubahan mengenai pengukuran instrumen keuangan, yaitu AASB 139 mensyaratkan instrumen keuangan harus diukur berdasarkan nilai wajar. Hasilnya bahwa nilai wajar bersih atas aset keuangan memiliki relevansi nilai yang lebih dibanding biaya historis. Hasil yang sama diperoleh di Jordania, Nimer et al. (2011) telah dilakukan penelitian mengenai efek implementasi IAS 39 mengenai financial instrument pada investor Jordania (Nimer, et al., 2011). Hasilnya, dengan penerapan IAS 39, berpengaruh pada profit perusahaan intermediaris dan perusahaan investasi. Terjadi volatilitas profit perusahaan intermediaris dan investasi sejalan dengan konsentrasi aset mereka pada instrumen keuangan, konsekuensinya baik itu investor individu maupun institusional mengurangi investasi mereka tiga tahun terakhir pada perusahaan. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian Nimer et al. (2011) bahwa pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan dengan nilai wajar berdasarkan IAS 39 memiliki relevansi nilai dan berhubungan negatif dengan return perusahaan ditandai dengan berkurangnya investasi para investor pada perusahaan.
Namun, hasil berbeda ditunjukkan di Finlandia, melalui bukti penelitian Jarva dan Lantto (2010) menunjukkan bahwa laba yang dilaporkan dengan standar akuntansi IFRS tidak memiliki relevansi nilai yang lebih tinggi daripada laba yang dilaporkan dengan standar akuntansi lokal yaitu Finland Accounting Standard. Dimana standar akuntansi Finlandia mengacu pada biaya historis. Sejalan dengan Jarva dan Lantto (2010), Al-Yaseen, et al. (2011) menemukan bahwa menurut persepsi investor, volatilitas laba bersih historical cost merupakan ukuran risiko ekonomis yang lebih baik dibanding dengan volatilitas laba bersih nilai wajar, dengan pengukuran nilai wajar akan berdampak pada kemampuan pengukuran risiko yang relevan sehingga dapat mengurangi ketepatan keputusan investor.
Beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan adanya perbedaan mengenai relevansi nilai laporan keuangan yang disusun menggunakan standar akuntansi yang mensyaratkan nilai wajar dengan standar yang mensyaratkan biaya historis. Perbedaan hasil riset inilah yang mendorong peneliti melakukan penelitian untuk mencari bukti lebih lanjut mengenai relevansi nilai dan fokus pada mengukur dampak earnings informativeness atas perubahan standar akuntansi mengenai pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan. Kemudian, hal lain yang memotivasi peneliti adalah, pada penelitian terdahulu belum mengkaitkan standar akuntansi mengenai pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan dengan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (forward earnings responce coefficient/FERC).
Pada penelitian ini, proksi yang digunakan untuk mengukur penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) adalah penyisihan kerugian/penurunan nilai piutang (mengingat pengukuran dan pengakuan penurunan nilai aset keuangan merupakan salah satu hal terpenting dalam PSAK No. 55-revisi 2006). Ini juga sesuai dengan Krishnakumar dan Kulkarni (2007) bahwa satu perubahan penting yang diperkenalkan oleh IAS 39 mengenai Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran. Perubahan tersebut terkait pengakuan dan pengukuran ‘impairment and uncollectability of financial assets’. Proksi untuk mengukur earning informativeness adalah menggunakan Earnings Response Coefficient (ERC) sesuai dengan penelitian Hanlon et al. (2008), sedangkan proksi untuk mengukur kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings adalah menggunakan Forward Earnings Response Coefficient (FERC) sesuai penelitian Ettredge et al. (2005).
Penelitian sebelumnya mengenai perubahan standar akuntansi terhadap earning informativeness dan prediksi laba mendatang memang telah ada (misal Hanlon et al., 2008 dan Ettredge et al., 2005). Namun, penelitian tersebut bukan fokus pada perubahan standar mengenai pengukuran dan pengakuan instrumen keuangan. Sedangkan pada penelitian ini fokus terhadap perubahan standar akuntansi mengenai pengukuran dan pengakuan instrumen keuangan.
Penelitian mengenai penerapan perubahan PSAK di Indonesia umumnya menginvestigasi implikasi penerapan PSAK dan mengkaitkan dengan kinerja keuangan. Namun, belum ada yang mengkaitkan dengan kualitas laporan keuangan dan earnings informativeness serta kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings.
Selain dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian di luar negeri, penelitian ini juga dilakukan karena peneliti belum menemukan adanya penelitian sebelumnya di Indonesia yang meneliti relevansi nilai atau implikasi penerapan PSAK 55 revisi 2006 terhadap investor atau harga saham. Beberapa penelitian sebelumnya di Indonesia mengenai penerapan PSAK 55 revisi 2006 kebanyakan adalah penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan implikasi penerapan pada kinerja keuangan perusahaan/entitas.
Permasalahan penelitian yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah apakah penerapan PSAK No. 55  (revisi 2006) berpengaruh terhadap earning informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (future earnings)? Penelitian ini fokus membahas salah satu perubahan penting di dalam PSAK No. 55 (revisi 2006), yaitu perubahan mengenai pengakuan dan pengukuran atas penurunan nilai dan tidak tertagihnya aset keuangan (dalam hal ini adalah piutang).
Kontribusi yang akan diberikan dari hasil penelitian ini adalah:
a.    Menyediakan bukti empiris dampak perubahan standar akuntansi mengenai pengukuran dan pengakuan instrumen keuangan (PSAK No. 55 revisi 2006) terhadap earnings informativeness (ERC) dan kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings (FERC). Belum ada penelitian mengenai dampak penerapan standar pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan yaitu PSAK No. 55 (revisi 2006) di Indonesia terhadap ERC dan FERC.
b.    Adanya perbedaan hasil riset mengenai relevansi nilai informasi dari laporan keuangan yang disusun dengan standar akuntansi nilai wajar dibandingkan dengan standar akuntansi biaya historis, yaitu bukti di Finlandia, Australia dan Jornania. Maka penelitian ini ingin mencari bukti lebih lanjut.
c.    Adanya perbedaan hasil riset mengenai dampak perubahan standar akuntansi (mengenai business segment dan standar akuntansi yang conformity dengan aturan pajak) terhadap earnings informativeness di luar negeri, maka penelitian ini diharapkan dapat memperoleh bukti empiris dampak penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mengenai pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan di Indonesia terhadap kualitas informasi laporan keuangan (yakni earnings informativeness dan kemampuan pasar dalam memprediksi future earnings).
Sampel penelitian ini terdiri dari perusahaan publik sektor keuangan non bank pada 2009-2010. Total observasi adalah 70 perusahaan-tahun. Metode pengolahan data menggunakan regresi OLS. Hasilnya, pertama koefisien laba tahun ini meningkat setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006), dibandingkan dengan sebelum penerapan. Meskipun sesuai prediksi bahwa koefisiennya lebih besar, namun hasilnya tidak signifikan, sedangkan untuk periode sebelum penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) signifikan. Hasil ini mengindikasikan akuntansi nilai wajar atas pengakuan penurunan nilai piutang/kerugian piutang tidak terbukti secara signifikan memiliki relevansi nilai yang lebih baik dibanding dengan berdasarkan biaya historis. Kedua, penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) mampu meningkatkan kemampuan pasar dalam memprediksi laba mendatang (FERC meningkat). Ditunjukkan dari koefisien laba tahun depan (Et+1) setelah penerapan PSAK No. 55 (revisi 2006) lebih besar dan signifikan daripada sebelum penerapan.

 *Please leave a massage if you want to have a full version of this article.